Edukasicampus.com- Apa yang pertama kali terbesit di kepala ketika mendengar kata “Tasawuf”? Kebanyakan dari kita akan berusaha mengartikan tasawuf sebagai suatu ajaran tentang penyucian jiwa, dengan melakukan kegiatan yang mendekatkan diri kepada Allah. Lebih kurangnya seperti itu.
Namun Hamka dalam salah satu karya monumentalnya pada “buku series filsafat” (bila penulis boleh memberi kategori) mencoba memberi sentuhan modern pada nilai-nilai tasawuf.
Sejauh ini, konsep tasawuf (mohon maaf) kerap kali masih dipandang sebagai suatu ajaran yang terkesan lawas, dan Hamka dalam Tasawuf Modernnya mencoba memberi interpretasi baru dengan menghubungkan dengan konteks masa kini.
Intinya buku ini mencoba untuk merenungkan kembali hidup, menemukan makna bahagia, dan kembali pada jalanNya.
Siapa Buya Hamka?
Abdul Malik Karim Amrullah, atau mungkin kita lebih akrab mendengarnya dengan nama Buya Hamka, adalah seorang tokoh penting dalam sejarah intelektual Indonesia. Ia adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan yang karya-karyanya sangat berpengaruh dalam dunia Islam dan sastra Indonesia.
Berbicara tentangnya tentu akan kembali memoar masa lalunya ketika ia dituduh hendak melakukan penggulingan terhadap rezim Soekarno. Ia di penjara atas sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Namun justru ketika di penjara itulah Hamka berhasil menyelesaikan karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar, tafsir Al-Qur’an yang mampu ia selesaikan ketika di balik jeruji penjara.
Sosok Buya Hamka selain dikenal sebagai seorang penulis, ia juga terkenal akan statusnya sebagai pendakwah. Seperti kebanyakan orang Minangkabau, dalam hidupnya Hamka sudah akrab dengan merantau.
Ketika muda, Hamka sudah menjejakkan kakinya di Mekkah untuk menimba ilmu, ia juga pernah merantau ke Yogyakarta lalu bertemu dengan H.O.S Tjokroaminoto dan Ki Bagus Hadikusumo, serta ia juga pernah menetap di Medan dan mendirikan Majalah Pedoman Masyarakat disana.
Malik (panggilan kecilnya) dulunya dikenal sebagai anak yang nakal dan kerap membolos belajar, meskipun begitu Malik sangat menyukai buku bacaan dan dari sinilah permulaannya menuju dunia sastra terasah. Malik memiliki masa kecil yang cukup unik dan penuh warna. Meski dilahirkan dalam keluarga yang sangat religius, masa kecilnya tidak selalu berjalan mulus.
Sejak kecil, Malik sering membolos dan berpetualang sendirian ke berbagai tempat, baginya keluar rumah adalah pelarian dari kehidupan keluarganya (waktu itu ayahnya baru saja bercerai). Ia justru banyak belajar kehidupan dari hasil pengembaraannya di luar kelas. Ia belajar silat, belajar berpidato adat, dan belajar sastra.
Hamka hidup ditengah-tengah perjuangan bangsa Indonesia pra dan paska kemerdekaan. Ia sempat berkecimpung di politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
Apa Itu Tasawuf Modern?
Di pembukaan buku Tasawuf Modern, Hamka membeberkan sendiri bahwa buku ini memang tidak akan membahas tema tasawuf secara keseluruhan. Buku ini bila dikontekstualisasikan dengan kondisi hari ini, tentu akan memilii genre Agama dan self improvement, dimana buku ini memang membahas pada aspek pengembangan kualitas diri.
Bila kamu pernah membaca buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring, kamu akan menjumpai satu titik temu dengan Tasawuf Modern karya Buya Hamka. Keduanya sama-sama membahas tentang makna bahagia dan bagaimana menjalani hidup yang baik, hanya saja dibedakan pada aspek sumber fokus spiritual dan konsep diri.
Buku Tasawuf Modern memberikan pemahaman tentang hidup, bahwasannya dalam hidup selalu ada yang namanya bahagia dan sedih, dan sebetulnya keduanya adalah hal yang normal. Maka bagus sekali jika di bagian cover buku ini terdapat pesan yang berbunyi “Bahagia itu Dekat dengan Kita, Ada di dalam Diri Kita.”
Konsep yang ditawarkan oleh Hamka hampir sama dengan filsafat stoik yang berkenaan dengan “dikotomi kendali”. Jadi yang dimaksud dengan dikotomi kendali adalah pemisahan dimensi antara sesuatu yang bisa kita jangkau dengan sesuatu yang tidak mampu kita jangkau.
Mudahnya, sesuatu yang bisa kita jangkau adalah sesuatu yang ada dalam diri seperti: pikiran kita, tindakan kita, pendapat kita, dan emosi kita. Lalu untuk sesuatu yang tidak bisa kita jangkau seperti: sikap orang lain, pendapat orang lain, dan takdir.
Jadi apa masalahnya? Disadari atau tidak, kadangkala kita suka memfokuskan masalah kita pada sesuatu yang tidak menjadi jangkauan kita, dan itu masalahnya. Semisal saja kita merasa terusik atas celaan orang lain terhadap kita ataupun kejadian buruk yang menimpa kita.Kedua hal tersebut membuat diri kita sedih, terlalu banyak memikirkan hal lain ketimbang fokus pada diri sendiri.
Dan pada akhirnya muncullah kesedihan, depresi, lebih jauh sampai bunuh diri. Dalam buku Tasawuf Modern mengajak kita untuk-selain berbuat pada kebaikan juga menyadari bahwa kebahagiaan adalah kita yang menentukan.
Kedua hal diatas tadi adalah sesuatu yang seharusnya kita pahami sebagai dimensi yang tidak bisa kendalikan, jadi mau sekuat apapun kita berusaha pasti selalu saja ada hal yang tidak bisa kita ubah. Dan kenyataannya memang seperti itu.
Tasawuf Modern karya Buya Hamka adalah sebuah upaya untuk menjadikan ajaran tasawuf lebih relevan dengan kehidupan manusia modern. Seperti dipahami bersama, kehidupan di zaman modern yang dipenuhi dengan hiruk pikuk dunia, terlebih di era modern ini semua hal tampak serba “fana”. Hal inilah yang menjadikan kita perlu “sadar” bahwa menjadi bahagia tak sekadar soalan materi saja.
Dalam hidup, seringkali kitalah yang memburu bahagia, mencari kebahagiaan, dan melakukan segala cara agar bahagia. Sebetulnya, berbicara tentang bahagia maka setiap orang mempunyai kebahagiaanya sendiri-sendiri.
Lalu paradoks itupun muncul, kita beranggapan bahwa hujan turun adalah suatu kebahagiaan, namun disatu sisi justru ada orang yang merasa dirugikan atas terjadinya hujan.
Lalu pertanyaan pun muncul, apakah hujan yang menjadi kebahagiaan kita? Apakah tidak hujan pula yang menjadi kebahagiaan kita? Atau baik itu hujan atau tidak kita akan merasa bahagia?
Pertanyaan pertama dan kedua pada contoh diatas adalah sama-sama memfokuskan hujan sebagai tolak ukur kebahagiaan, sedangkan pada pertanyaan ketiga berfokus pada diri kita sendiri, mudahnya kita yang menentukan kebahagiaan entah itu hujan ataupun tidak. Maka pilihan ketiga adalah opsi yang paling ideal. Mengapa demikian?
Seperti banyak dijelaskan Hamka dalam bukunya, bahagia kita yang menentukan. Dalam buku ini juga menjelaskan bahwa bahagia dalam diri bisa diperoleh dengan cara kita mendekatkan diri kepada Allah.
Buku ini memberikan pedoman berupa anjuran untuk senantiasa berlaku baik kepada semua orang, bertawakal, bersabar dalam segala hal, dan beramal shaleh.
Review dan Relevansi Tasawuf Modern
Buku ini terbilang masih sangat relevan meskipun sudah berumur cukup tua. Sebagaimana yang tertera pada judul buku ini “Tasawuf Modern”, buku ini pun masih relevan di era modern sekarang ini, dengan mengkontekstualisasi nilai tasawuf ke dalam dunia modern. Buku ini mempunyai jumlah halaman yang lumayan, sekira 300an halaman.
Ada baiknya dalam membaca buku ini kamu bisa sedikit melambat. Sebagaimana buku “berat” (seperti bergenre filsafat yang memerlukan energi ekstra dalam membacanya), kamu bisa membaca buku ini sesambil merefleksikan diri, dan mengambil nilai yang relevan di kehidupanmu.
Bila kamu sebelumnya sudah pernah membaca buku karya Buya Hamka, seharusnya tidak terlalu mempermasalahkan penggunaan bahasa dan sastra yang dimainkan Hamka dalam bukunya. Sebab dalam kepenulisannya, sedikit banyak Hamka menggunakan Bahasa Melayu Klasik yang mungkin saja kamu belum terbiasa karenanya.
Di era yang katanya “mental health” adalah sesuatu yang krusial di kalangan generasi muda, buku ini seakan menawarkan pedoman yang-selain membantu menemukan makna bahagia sekaligus memberikan nilai religius di dalamnya.
Buku ini seakan mengajak pembaca untuk kembali membenahi diri, berubah menjadi insan yang senantiasa berbuat baik, dan memberi kesadaran bahwa bahagia tidak perlu merebut kebahagiaan orang lain.
Jadi, tertarik membaca buku Tasawuf Modern karya Buya Hamka?
Leave a Reply